Suatu hari ada pertanyaan dibenak saya mengenai kenapa kata sifat mudah lekat pada seseorang hanya dengan sebelah mata? Mungkin cara itu lebih mudah dibandingkan memahami sebelum menilai karena membutuhkan tenaga lebih untuk menyerap segala kemungkinan dan konteks diluar kendali kita.
Setiap orang punya historis yang bukan kuasa lainnya untuk menguasai apalagi menghakimi tapi dilain sisi bukan juga menjadikannya perisai terhadap interaksinya dengan orang lain. Semuanya sedang berjuang melawan hal-hal tidak mengenakan dalam hidup, entah luka yang masih menganga bahkan masih basah. Pada batas memahami konteks diluar isi kepala kita banyak ruang tukar nalar diputus hanya demi menyelamatkan diri namun menyimpan secuil sentimentil dari menerka-menerka, hasilnya: pukul rata.
Ego dimanja memberikan pembenaran menutup mata dari segala kemungkinan. Baginya kebaikan hadir cuma-cuma dan mampu disertakan dalam segala konteks, baik tidaknya hanya diukur dari kertas nilai egoisme isi kepala. Sedangkan ego selalu butuh pelayanan, semakin rabun asumsinya maka ego terus luruh tanpa beregenerasi dengan nalar. Seperti quotes Pramoedya Ananta Toer:
"Sebagai terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi perbuatan."
Setiap orang punya historis yang bukan kuasa lainnya untuk menguasai apalagi menghakimi tapi dilain sisi bukan juga menjadikannya perisai terhadap interaksinya dengan orang lain. Semuanya sedang berjuang melawan hal-hal tidak mengenakan dalam hidup, entah luka yang masih menganga bahkan masih basah. Pada batas memahami konteks diluar isi kepala kita banyak ruang tukar nalar diputus hanya demi menyelamatkan diri namun menyimpan secuil sentimentil dari menerka-menerka, hasilnya: pukul rata.
Ego dimanja memberikan pembenaran menutup mata dari segala kemungkinan. Baginya kebaikan hadir cuma-cuma dan mampu disertakan dalam segala konteks, baik tidaknya hanya diukur dari kertas nilai egoisme isi kepala. Sedangkan ego selalu butuh pelayanan, semakin rabun asumsinya maka ego terus luruh tanpa beregenerasi dengan nalar. Seperti quotes Pramoedya Ananta Toer:
"Sebagai terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi perbuatan."
Karenanya, saya pecaya berasumsi melebihi kuasa tindakan dan pikiran orang lain adalah tidak tepat. Secara bijak kamu dapat menebar quotes bijak, berusaha keras memberi asupan motivasi pada dirimu maupun orang lain tapi tidak adil sejak dalam pikiran sebab asumsi melampaui kuasa individu akan dirinya.
Tentu jangan heran kalau hari ini orang lebih responsif jarinya dibanding nalarnya bahkan cepat berbicara dibanding mengolah informasi. Teriak-teriak lewat media sosial, menyindir no mention pihak yang dimaksud, berkomentar atas pilihan hidup orang lain dan menyungkurkan ruang diskusi hanya karena percaya penuh dengan asumsi di kepala. Padahal selagi masih bisa saling menatap kenapa mesti menyimpan dendam, jika masih punya rasa kemanusiaan di benak kenapa memilih diam dan mencibir dibelakang tersenyum di tatap, misal sudah belajar berbahagia di masa kini mengapa masih ada yang menghardik masa lalu hanya karena tidak lengkap kebahagiaannya tanpa mencaci luka lama, selalu ada cara lebih baik dalam menerima dan memahami.
Kesebalan terhadap sesamanya memang lumrah namun menutup mata dan pukul rata membuat pikiran tertatih, tidak terlatih berpikir adil. Seharusnya semua terus belajar laraskan cara berpikir yang mendewasakan, memanusiakan.
Rangsang pikir jadi tenang.
Buang ganjalan jadi renggang.
Egomu sudah jatuh tenggang.
Saatnya melenggang.
Kesebalan terhadap sesamanya memang lumrah namun menutup mata dan pukul rata membuat pikiran tertatih, tidak terlatih berpikir adil. Seharusnya semua terus belajar laraskan cara berpikir yang mendewasakan, memanusiakan.
Rangsang pikir jadi tenang.
Buang ganjalan jadi renggang.
Egomu sudah jatuh tenggang.
Saatnya melenggang.
Komentar
Posting Komentar