Hujan
seperti menunjukkan antusiasmenya berderai membasahi jendela kamarku, aku
sembari bersembunyi dalam selimut putih favoritku menghangatkan kulit yang
mulai merinding menampung tetesan air dipelupuk mata. Sore mendung, bertepatan
di hari Jum’at aku bahkan tidak bisa menikmati waktu merindu setelah hampir 2
minggu aku ditinggalnya bertugas di wilayah timur Indonesia. Terjadi perdebatan
sangat melelahkan sepanjang perjalanan dari bandara sampai aku menepikan
mobilku di rumahnya, tidak ada kecupan kening maupun kebiasaannya menunggu
mobilku berlalu sambil mengucap “Hati-hati ya sayang, kalo udah sampai rumah
kabarin aku.” Dia cepat berlalu tanpa menoleh menatapku, aku hanya memandangi
punggungnya yang bergegas menutup pagar rumahnya. Jauh dari rencanaku menikmati kemesraan berdua
malah berujung berteman selimut menahan tangis.
Sudah berkali-kali aku mengecek handphone
ku sama sekali tidak terdapat pesan darinya, deringan telepon apalagi. Hampir 2
tahun bersama hal seperti ini merupakan makanan sehari-hari, ego kami
terlalu besar entah untuk kebaikan
hubungan atau hanya ingin menyuapi kepuasaan ego masing-masing? Pada momen
tertentu aku selalu berusaha mengalah namun sebaliknya aku seakan tenggelam
merunduk oleh ambisinya, seringkali aku merasa terinjak karena tak pernah didengar,
hanya dia bersama perspektifnya aku berteman kebodohan, jujur saja kali ini aku
sudah diujung amarah sehingga wajar saja perjalanan dari bandara berubah
menjadi arena keributan berujung saling mendingin.
Bekutat dengan air mata tertahan sungguh menyiksa
sampai akhirnya tumpah ruah, bantalku basah dadaku terasa sesak. Aku segera mengambil
handphone, mencari kontak yang sudah lama tidak pernah saling sapa semenjak bersama Arga.
Larut malam persis di coffee shop tempat pertama kali kami bertemu menikmati
obrolan saat hujan, rasanya seperti mengulang pertemuan kami dengan
kondisi yang berbeda. Mata ku bengkak, menyapanya menyunggingkan senyum tipis,
duduk sambil menundukan kepala sedangkan orang didepanku masih tetap dengan
senyuman manisnya menyapaku, ”Hei, ndra.” Melihat kondisi ku teramat lusuh ia memulai pembicaraan;
”Kalo kamu udah siap cerita,
aku bakal dengerin. Kamu butuh pundak aku buat lanjutin nangisnya aku juga
siap sampai kamu merasa tenang. Udah makan ndra?” Ia mengusap lembut rambutku
yang masih menundukan kepala saking beratnya pikiran kepalaku.
Buru-buru ku meminum susu cokelat pesananku, mengajaknya
berpindah ke mobil melihat kondisi air mataku sangat berbahaya jika keluar di
tempat umum seperti ini, aku bisa malu dibuatnya. Dia menggengam tanganku erat,
menyelinapkan kepalaku pada dekapannya menutupi mata bengkakku sepertinya kalau
menatap mata orang lain aku seperti pembunuh berdarah dingin. Sesampainya aku
duduk tenang perlahan-lahan berani menunjukan mataku di hadapannya, tatapannya
masih selalu hangat seperti sebelumnya. Melihat keteduhannya aku mulai
memberanikan diri bercerita apa yang sebenarnya terjadi, menyandarkan kepalaku
di pundaknya.
”Udah selesai belum nangisnya? Ada lagi
yang mau kamu ungkapin?”
”Aku lelah banget, sampai gak tau lagi apa
lagi yang harus aku luapin cuman pundak kamu aku butuh sekarang.”
”Pacarmu tau?”
Aku hanya menggeleng, merasa tak penting
menjawab pertanyaan itu buatku sudah terserah saja dia sedang apa dan bersama
siapa mungkin bersama orang lain juga, terserahlah, gumamku dalam hati.
”Emang pundak aku lebih menenangkan dari
pacarmu?” godanya.
”Banyak pertanyaan nih, bawel. Cukup sediain
pundak aja gak usah komentar,” celetukku sebal.
”I do. Aku masih percaya kehadiranku dari
dulu satu-satunya pelengkap kamu, makanya aku kecewa pas tau kamu pacaran sama
Arga tapi tetep aja hari ini aku gak nolak nemenin kamu.”
”Kenapa masih mau ketemu aku?” tanyaku
penasaran.
”Karna aku gak bisa liat kamu sedih,
apalagi nangis sampai sehancur ini. Kamu tau dulu aku selalu jaga kamu gak sedih
setiap sama aku? Bajingan aja yang bikin kamu gini, aku gak bisa diem aja lah,”
sambil mengusap rambutku.
Aku terdiam sambil meratapi bahunya yang membuatku
merasa bersalah.
”Pokoknya kalo kamu gini lagi mungkin gak
aku punya kesempatan gantiin posisi pacar kamu? Karna aku bisa nepatin janji
gak bikin kamu nangis setersiksa ini.”
Aku merengkuh tangannya, ”Maafin aku ya,
aku gak bermaksud ngecewain kamu.”
Merebahlah kesedihanku akan
ketidakberdayaan melewati proses panjang melelahkan, bukan tidak pernah
bahagia tapi mungkinkah alarm terhadap hubungan yang sudah mencekikku secara
perlahan? Aku belum berani menebak sebab banyak pertimbangan menjelang hari
pernikahan aku dan Arga.
”Tidur nyenyak ya ndra, kasian mata kamu.
Kalo gak bisa tidur, telefon aku aja," ucapnya sebelum ia menancapkan gas
mobilnya bergegas pergi.
Komentar
Posting Komentar