-
Saat
remaja saya tidak merasa edukasi kesehatan reproduksi penting, pengetahuan
mengenai kesehatan reproduksi hanyalah paparan pelajaran biologi belaka mulai
dari alat reproduksi beserta fungsinya hingga proses bereproduksi. Penjelasan
yang terpaku oleh buku membuat pemahaman hanya sebatas pengertian beserta
fungsinya belum lagi tambahan pesan moral larangan melakukan hubungan seksual
secara bebas karena banyak penyakit timbul karenanya, namun luput dari penjelasan
penyalahgunaan alat reproduksi. Penyampaian pengetahuan tidak utuh membuat saya
kehilangan paham adanya praktik sunat perempuan akibat lebih sering mendengar
penerapan sunat berlaku untuk laki-laki.
Secara
umum sunat bagi laki-laki merupakan proses pelepasan kulup yang menguliti penis
bertujuan mencegah terjadinya infeksi terhadap kulup serta mengurangi risiko
kanker sedangkan sunat perempuan (FGM-Female
Genital Mutilation/Cutting) prosesnya ialah pemotongan area sensitif vagina
perempuan tanpa alasan medis menggunakan 6 cara (WHO, 2004): Pertama,
menghilangkan bagian permukaan klitoris dengan atau tanpa diikuti pengangkatan
sebagian atau seluruh klitoris. Kedua, pengangkatan klitoris diikuti dengan
pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari labia minora. Ketiga, pengangkatan
sebagian atau seluruh bagian dari organ genital luar kemudian menjahit atau
menyempitkan lubang vagina (infibulasi). Keempat, menusuk, melubangi klitoris
dan labia atau diikuti tindakan memelarkan melalui pembakaran klitoris atau
jaringan di sekitarnys. Kelima, merusak jaringan di sekitar lubang vagina
(angurya cuts) atau memotong vagina (gishiri cuts). Keenam, memasukkan
bahan-bahan atau tumbuhan yang merusak vagina agar menimbulkan pendarahan untuk
menyempitkan vagina.
Proses
sunat perempuan telah mendapatkan penolakan bagi berbagai pihak karena
berakibat terganggunya fungsi vagina berpengaruh terhadap aktivitas seksual
perempan bahkan dalam proses melahirkan berisiko kematian, menurut medis tidak
ada validasi sunat perempuan penting bagi kesehatan. Terjadinya praktik ini secara garis besar menggambarkan kuatnya stigma
mengenai ‘tradisi’ yang dilakukan tanpa memahami fungsi dari penerapan
tersebut. Klitoris pada perempuan merupakan pemicu ketegangan seksual selain
labia mayora berperan sebagai pelindung struktur alat kelamin dan labia minora
digunakan untuk saluran urin dapat pula menengang bila terjadi rangsagan seksual.
Ketiga bagian yang menjadi objek sunat menandakan hilangnya sensitivitas
seksual perempuan sekaligus pelemahan fungsinya.
Saya
menyaksikan video kumparan (https://www.youtube.com/watch?v=cFE7K6Qxcuo) bercerita tentang saksi mata yang mengalami sunat
perempuan, salah satu sumber bernama Ida menyaksikan langsung proses sunat adik
perempuannya dilakukan sang ibu setelah lahir menggunakan silet dan koin
setelahnya dibersihkan dengan alkohol, Ida pun mengakui dirinya pernah di sunat
saat usia 6 bulan, “Sunatnya sih seperti
di gores bagian paling ujung kelamin terus digaris, darahnya keluar dan selesai
gitu aja,” terang Ida. Wilayah Ternate tempat Ida tinggal berpegang teguh
pada syariat agama, berdasarkan hadis keluarganya percaya khitan bagi perempuan
adalah wajib begitu juga menurut Astari tinggal di Wonogiri ketika kelas 3 SD
mengartikannya sebagai kepatuhan terhadap ajaran agama. Hasil wawancara dari
seorang ibu bernama Musriyah mengungkapkan pernyataan tetangga sekitarnya
mengetahui anak perempuannya tidak disunat berupa, “Kenapa anak perempuannya gak disunat? nanti jadi binal loh.”
Pemandangan
soal stigma rasanya tidak lazim di lingkungan bermasyarakat dipenuhi anggapan
tradisi turun-menurun memberi pesan‘diwajibkan agama’. Sebenarnya praktik sunat
perempuan penting mempelajari konteks seperti
pada kasus cerita di video Kumparan hanya berbasis kebiasaan dan ketakutan akan
pelanggaran ajaran agama padahal jika mengacu pada dampak setelahnya bukan
hanya pembatasan hak seksual, fungsi seksual perempuan saja melainkan efek
jangka panjang berkaitan kesehatan apabila menggunakan alat tidak steril,
prosesnya menyiksa, mengancam nyawa serta bahayanya pelanggengan aktivitas
sunat akibat penanaman stigma ‘salah makna’ hanya mengerti sebagian tanpa
meruntut sebab-akibat dari apa yang dilakukan. Konsep kepercayaan terhadap
ajaran atau tradisi tentu diperbolehkan namun relevansi terhadap situasi juga
harus diperhatikan sebab di ajaran manapun pasti mengutamakan keselamatan
manusia jauh dari tujuan membahayakan.
‘Kata
orang’ berikut ‘Katanya sih’ ‘Menurut agama gitu’ selalu jadi argumentasi atas
pembenaran sebuah pelaksanaan yang mungkin saja sudah tak lagi aplikatif.
Preferensi terhadap apa yang sudah ada menyempitkan ruang berpikir atas
pertimbangan informasi dalam menghasilkan keputusan rasional. Sesungguhnya cara
berpikir manusia selalu menarik terhadap suatu keputusan maka sediakan ruang
kebebasan dalam menyerap, mengelola dan menyimpulkan informasi. Sunat perempuan
memberi pembelajaran kuatnya pengaruh stigma sekaligus ‘bisikan tetangga’ memotong
rasionalisasi manusia, mengurangi sensitivitas manusia seutuhnya. Bayangkan
saja, pembedahan ikan mati untuk percobaan ilmiah pun membutuhkan pertimbangan
cara membelah dibagian yang tepat padahal mahluknya sudah mati tentu sangat
berbahaya pengikisan terhadap manusia sepenuhnya sadar bahkan jelas memiliki
fungsi krusial pada tubuhnya. Percaya bukan berarti menganiaya, pertimbangan
melakukannya butuh pembuktian langsung dari medis bersifat urgensi. Sebagaimana
manusia yang ‘seharusnya’ memanusiakan penting memberikan informasi tepat
sasaran, membantu sesamanya berpikir rasional, menggerakan hati nurani untuk
mengurangi salah kaprah informasi karena terhipnotis oleh rasa ‘percaya’
berlebihan diambang batas rasionalitas.
Saat
remaja saya tidak merasa edukasi kesehatan reproduksi penting, pengetahuan
mengenai kesehatan reproduksi hanyalah paparan pelajaran biologi belaka mulai
dari alat reproduksi beserta fungsinya hingga proses bereproduksi. Penjelasan
yang terpaku oleh buku membuat pemahaman hanya sebatas pengertian beserta
fungsinya belum lagi tambahan pesan moral larangan melakukan hubungan seksual
secara bebas karena banyak penyakit timbul karenanya, namun luput dari penjelasan
penyalahgunaan alat reproduksi. Penyampaian pengetahuan tidak utuh membuat saya
kehilangan paham adanya praktik sunat perempuan akibat lebih sering mendengar
penerapan sunat berlaku untuk laki-laki.
Saya
menyaksikan video kumparan (https://www.youtube.com/watch?v=cFE7K6Qxcuo) bercerita tentang saksi mata yang mengalami sunat
perempuan, salah satu sumber bernama Ida menyaksikan langsung proses sunat adik
perempuannya dilakukan sang ibu setelah lahir menggunakan silet dan koin
setelahnya dibersihkan dengan alkohol, Ida pun mengakui dirinya pernah di sunat
saat usia 6 bulan, “Sunatnya sih seperti
di gores bagian paling ujung kelamin terus digaris, darahnya keluar dan selesai
gitu aja,” terang Ida. Wilayah Ternate tempat Ida tinggal berpegang teguh
pada syariat agama, berdasarkan hadis keluarganya percaya khitan bagi perempuan
adalah wajib begitu juga menurut Astari tinggal di Wonogiri ketika kelas 3 SD
mengartikannya sebagai kepatuhan terhadap ajaran agama. Hasil wawancara dari
seorang ibu bernama Musriyah mengungkapkan pernyataan tetangga sekitarnya
mengetahui anak perempuannya tidak disunat berupa, “Kenapa anak perempuannya gak disunat? nanti jadi binal loh.”
Pemandangan
soal stigma rasanya tidak lazim di lingkungan bermasyarakat dipenuhi anggapan
tradisi turun-menurun memberi pesan‘diwajibkan agama’. Sebenarnya praktik sunat
perempuan penting mempelajari konteks seperti
pada kasus cerita di video Kumparan hanya berbasis kebiasaan dan ketakutan akan
pelanggaran ajaran agama padahal jika mengacu pada dampak setelahnya bukan
hanya pembatasan hak seksual, fungsi seksual perempuan saja melainkan efek
jangka panjang berkaitan kesehatan apabila menggunakan alat tidak steril,
prosesnya menyiksa, mengancam nyawa serta bahayanya pelanggengan aktivitas
sunat akibat penanaman stigma ‘salah makna’ hanya mengerti sebagian tanpa
meruntut sebab-akibat dari apa yang dilakukan. Konsep kepercayaan terhadap
ajaran atau tradisi tentu diperbolehkan namun relevansi terhadap situasi juga
harus diperhatikan sebab di ajaran manapun pasti mengutamakan keselamatan
manusia jauh dari tujuan membahayakan.
‘Kata
orang’ berikut ‘Katanya sih’ ‘Menurut agama gitu’ selalu jadi argumentasi atas
pembenaran sebuah pelaksanaan yang mungkin saja sudah tak lagi aplikatif.
Preferensi terhadap apa yang sudah ada menyempitkan ruang berpikir atas
pertimbangan informasi dalam menghasilkan keputusan rasional. Sesungguhnya cara
berpikir manusia selalu menarik terhadap suatu keputusan maka sediakan ruang
kebebasan dalam menyerap, mengelola dan menyimpulkan informasi. Sunat perempuan
memberi pembelajaran kuatnya pengaruh stigma sekaligus ‘bisikan tetangga’ memotong
rasionalisasi manusia, mengurangi sensitivitas manusia seutuhnya. Bayangkan
saja, pembedahan ikan mati untuk percobaan ilmiah pun membutuhkan pertimbangan
cara membelah dibagian yang tepat padahal mahluknya sudah mati tentu sangat
berbahaya pengikisan terhadap manusia sepenuhnya sadar bahkan jelas memiliki
fungsi krusial pada tubuhnya. Percaya bukan berarti menganiaya, pertimbangan
melakukannya butuh pembuktian langsung dari medis bersifat urgensi. Sebagaimana
manusia yang ‘seharusnya’ memanusiakan penting memberikan informasi tepat
sasaran, membantu sesamanya berpikir rasional, menggerakan hati nurani untuk
mengurangi salah kaprah informasi karena terhipnotis oleh rasa ‘percaya’
berlebihan diambang batas rasionalitas.

Komentar
Posting Komentar