Mental Diacak-Acak


Keseharian selalu saja penuh tuntutan, dari dalam diri punya standar pencapaian ditambah lagi orang-orang sekeliling yang punya eksepetasi kepada manusia lain. Terkadang terasa begitu muak, mengikuti keharusan atas ingin ’mereka’ maupun terbelenggu sama ketidakpuasaan dalam diri tak berujung. Aturan kehidupan memang ditentukan oleh si manusia yang berkuasa, selalu saja menemukan manusia merasa ’paling.’ Tak apasih, mungkin saja setiap manusia memiliki sensifitas unjuk kualitas diri namun sukanya melebihi porsi, sayangnya pula pemasangan standar hanyalah ego manusia saja tanpa peduli ’pas’ atau tidaknya terhadap ’kami.’ Kesabaran tentu harus, melatih manusia pahami bahwa tidak ada yang sempurna, meskipun memahami ketidaksempurnaan bukan hal mudah sebab kesalahan lebih terekam pekat dibandingkan melihat sisi baik yang lain ataupun sekedar menghargai proses gagal sekalipun, makanya tidak heran masih banyak hasrat membodoh-bodohi manusia lainnya.

Kesulitan dalam menerima ketidaksempurnaan berdampak pada bagaimana diri sendiri menghukum apa yang tidak bisa dicapai berdasarkan standar orang lain tersebut.

”Ah, bodoh banget deh gue. Kenapa ya gitu aja gak becus.”

”Kenapa sih diri gue begini banget, ya ampun gak ada bagus-bagusnya ini.”

Begitulah, saya.

Atau mungkin kamu?

Sering rasanya dibayangi oleh ekspetasi orang lain dibanding percaya bahwa saya bangga dengan apa yang saya lakukan entah baik maupun tidak. Berdamai sulit memang, tapi suara-suara kecil untuk mengatakan semua akan baik-baik saja masih hadir. Terima kasih hati kecil, kamu baik.

Setinggi apapun hierarki pada aturan main kehidupan, sungguh saya masih percaya manusia bodoh tidak ada itu hanyalah proses sebab-akibat yang dilakukan atas keputusan manusia sendiri. Dibalik segala keistimewaan manusia dalam level kehidupan sebenarnya berupa cobaan untuk tau sejauh mana manusia memaknai hidup dari sekedar level dan kemewahannya, bagaimana hati dan pikiran diajak memandang manusia lainnya dengan kerendahan hati secara utuh. Kalau saja memandang manusia berpatok pada emosional, sensitivitas terhadap kekurangan, kegagalan manusia, seperti menginjak-injak hati nurani. Saya yakin, proses hidup tidak melulu soal keberhasilan tapi juga dekat dengan kegagalan, kurang baik jika hati nurani dibiarkan kehilangan nyawanya.

Memberdayakan manusia menjadi lebih baik adalah hal mulia namun bertindak semaunya bukan hal bijak sebisa mungkin upayakan cara baik dalam memberi respon. Saya pun masih berusaha melakukannya, karna sepemahaman saya bertindak terlalu responsif juga tidak menyelesaikan masalah. Ada sisa-sisa emosi menyangkut di masalah-masalah setelahnya, lalu apa gunanya duduk bersama berdiskusi kalau ketidaksukaan masih menyelipkan api? Selagi si hati kecil masih berbaik hati membisikan hal baik, setidaknya ada pengingat menjaga hati dan pikiran tidak terlalu berantakan sekaligus bercermin turut memperlakukan manusia lain berdasarkan hati nurani dengan santun.



Komentar