------------
Kata orang mencintai dalam diam merupakan berkah, hanya doa tempat paling tepat mengutarakannya. Sebagai pembolak-balik rasa, manusia berkewajiban menjaga gejolaknya agar tidak melampaui ketentuan sang pencipta. Semenjak terjebak melalui obrolan menarik bersamanya aku jadi egois membiarkan dia menghantui pikiranku lebih sering dari biasanya, senyum-senyum penuh harapan tak bertuan. Setiap melangkahkan kaki di tempat aku menyebut namanya dalam doa lirikan mataku tertuju pada sepatunya yang menemaniku kemarin dikala hujan. Mushola terlihat sepi, aku lebih bersemangat dari hari-hari sebelumnya mengintip sosok dibalik tirai hijau mataku menemukan seorang bertubuh tinggi, berkacamata baru saja menyelesaikan sholatnya.
Aku terburu-buru berdiri menyegerakan memakai sepatuku, ia dengan cepat melewati posisiku tanpa sedikit pun melihat keberadaanku disana. Bergegas aku mencoba menyesuaikan langkah kakinya menuju lift. Aku dan dia kini saling berdampingan, jantungku berdegup kencang seolah-olah aku hanya berdua saja terjebak di dalam lift padahal aku dikelilingi banyak orang kali ini, bapak berbaju abu-abu menjadi pembatas antara kami. Ada kesempatan mempertemukan mata kami, ia berhasil mendapati mataku yang terlihat terpaku kearahnya kemudian dengan cepat ia memalingkan muka. Kondisi lift semakin dipenuhi para pegawai, aku memutuskan turun di lantai 4 akibat suasana sesak didalamnya membuatku tidak nyaman.
Selepas sore aku berharap (lagi) dipertemukan olehnya, sebelum meletakan sepatu di rak aku kembali melihat dia sedang terburu-buru mengenakan sepatunya untuk meninggalkan mushola. Aku spontan menggerakan bibirku mengucap salam dengan harapan dia membalasnya. Matanya cukup lama mampir dihadapanku aku berucap "Hai, Assalamualaikum." Ia berlalu begitu saja.
"Mungkin gitu dia lupa sama aku?." Muncul pertanyaan dalam benakku.
Aku mencoba menenangkan pikiran buruk tentangnya, aku asumsikan kondisi ia memang sedang diburu waktu sehingga memutuskan segera berlalu.
Ditempa banyak deadline pekerjaan buat aku ingin habiskan waktu sejenak duduk di tempat jauh dari keramaian, nyaman sambil menikmati minuman hangat favoritku meski cuaca hujan enggan menampakkan diri hari ini.
Aku sandarkan tubuhku pada kursi berbahan nilon, aku menyeruput cokelat panas memasangkan headset ditelinga dengan mengecangkan volume lagu yang berputar di telepon genggam. Kelelahan sepanjang hari menjelma jadi lantunan segar bagi kusutnya pikiran, seperti kerumitanya melepaskan diri secara suka rela lalu menari-nari. Kembali aku membuka mata melihat sekeliling kafe yang semenjak kejadian kemarin merupakan tempat favoritku berlabuh. Mengarah pada tempat persis di sebrang tempatku berada tak asing kusaksikan seorang sedang membenarkan posisi kacamatanya sambil menatap lurus kearah buku bacaannya. Tentu saja aku kenal betul oleh cara memperbaiki letak kacamatanya, aku memperhatikannya dari kejauhan begitu lekat. Lebih ampuh daripada mendengarkan musik sambil memejamkan mata ternyata, reaksi ketenangan ditambah senyum-senyum bodoh lebih ampuh meletupkan energi baru.
Insting pemburu bercampur rasa penasaran menghantarkanku mantap melangkah hampiri meja sang kemeja biru dongker yang kini ada dihadapanku. Saking seriusnya membaca ia seperti tidak peduli oleh kehadiranku, aku mulai beranikan diri mengawali percakapan:
"Hai." Aku sebutkan namanya.
"E...h hai." Ia segera meletakan bukunya.
"Kamu lembur?"
"Iya sih tadi, abis ini langsung balik kok." Jawabanya dingin.
"Mbak, aku minta billnya ya." Ia beranjak dari tempat duduk setelah membayar tagihannya.
Berbalik cepat membelakangi posisiku yang sama sekali tidak diberikan waktu menyambut pembicaraan, bahkan ia terkesan menghindar.
Pertemuan pertama memang manis.
Lekat senyumnya, matanya menatap lurus.
Tajam penuh antusias.
Momentum tinggalkan bekas.
Hujan tak menyapa, kamu pun menolak bertegur sapa.
Sepertinya kemarin bukan apa-apa.
Aku saja terlalu percaya harapan 'masih' ada.
Menerka ketidaksengajaan ini didukung semesta.
Nyatanya fatamorgana.
Antusiasmu fana.
Ketajaman tatapanmu kala itu mengada-ada.
Seolah obrolan kita bernyawa.
Padahal buatmu hanya canda.
Aku rasa mengucapmu di doaku sungguh percuma.

Komentar
Posting Komentar