Lantang

Malam hari setibanya di tempat berkayu, dekat dengan tempat munculnya matahari, bercengkrama oleh suara hewan pemakan rumput disauti siulan burung, aku memandangi seseorang duduk berayun bersama ukulelenya. Tidak tampak jelas sosoknya, namun petikannya cukup menggungah rasa penasaranku akan satria bergitar?

Rhoma Irama?
Entahlah, mungkin mirip hanya sedikit berubah jadi satria ukulele?

Atau memang resonansi dari ukelele ditangannya mampu menggerakan irama di denyutku.
Aktivitas bersama, membuatku mudah melihat sosokmu cukup jauh tapi selalu terlihat paling jelas dibanding lainnya. Mungkin sinar matahari pun sama sekali tak menyilaukan wajahmu, tak tampak angin sepoi menyapu rambutmu, maupun kilauan tatapan mematikan seperti layaknya bintang iklan pafurm laki-laki. Tidak seistemewa itu, hanya khas suaramu yang lantang bergaung ditelingaku dari kejauhan.

Kupikir dia begitu mempesona hari ini saja, menunjukkan  begitu lantang suaranya, tak perlu dipenuhi improvisasi, maksudnya jelas, tegas. Sedikit berbahaya buat perasaanku yang terus berbisik didalam hati, ”Dia begitu mempesona ya.”

Teman disebelahku bilang, sosok dia memang banyak dikagumi, saat dia berbicara pendengarnya antusias mendengarkannya seksama. Jiwa humorisnya sering membuat orang-orang disekitarnya selalu tertawa ketika berada didekatnya. Aku turut merasakan semua yang temanku bilang, melihatnya mampu menciptakan suasana penuh keceriaan memberikan sedikit terang pada ruang gelap gulita di hati tanpa tuan ini.

Percakapan menarik tentu tidak pernah terjadi diantara kami. Aku enggan melihat senyumanmu yang hanya mengarah padaku, meskipun aku tau hal tersebut tidak mungkin terjadi. Aku tau bagaimana caramu menjaga interaksi dengan lawan jenis, sangat hati-hati. Bukan karna kamu sombong, kamu hanya melakukannya berdasarkan porsi semestinya untuk menghindari interaksi secara personal. Aku paham, maka mengurungkan niatku dalam-dalam menciptakan momen percakapan dengan kamu.

Seperti apapun kamu, aku tak mau berusaha menunjukkan siapa aku. Selepas hari ini, aku selalu menapik rasa penasaranku tentang kamu. Meredam keinginan tuk berbincang sekedar basa-basi sekalipun. Padamu aku percaya, berdiam diri pada sebuah kekaguman bukan masalah. Maklum saja, tidak bersambut adalah hal yang sering ku alami sampai bosan.

Aku tak lagi menumbuhkan harapan pada ketidakpastian, jadi anggaplah rasa yang numpang lewat ini anugrah dari panjangnya kemarau. 
Kamu lantang, sayangnya aku tak tertantang. Aku ingin membiarkan rasanya menggenang, terkenang. 
Kamu si lantang, silahkan hilang.
Untuk kamu, aku lapang.
Mungkin, kita bertemu lagi di lain petang.
Mungkin, saling menggandeng.
Mungkin pula, saling menghilang.




Komentar