Kecukupan



(Sumber gambar: https://www.bu.edu/sph/tag/enough/)

Makan, minum butuh uang
Tempat tinggal butuh uang
Sekolah butuh uang
Nelfon butuh uang

Memenuhi tuntutan sosial, sangat butuh uang belum lagi ditambah gengsi status sosial
Cetusan familiar buat kita adalah, ”Realistis ajalah, lo pikir hidup gak butuh uang apa. Klise banget lah yang penting hidup sederhana tapi penuh cinta.”

Saya teramat setuju hidup butuh uang, namun semakin lama saya merasakan sedikit ganjalan tentang gumaman realistis diatas. Buat saya, menahan diri dari segala sesuatu yang ”berlebih” adalah merasa cukup.

Jika bicara materinya tentu aja benda mati pemegang kendali si benda mati itu ya manusianya, bergantung pada bagaimana manusia mendapatkan serta mengelola materi tersebut. Tau kan sifat lumrahnya manusia gak pernah merasa puas? Tapi coba memahami gak bahwa keberadaan pikiran dan perasaan ada untuk mengerem ketidakpuasaan itu?

Saya berasumsi bahwa manusia justru sudah dikelola sama materi yang sebenarnya cuman benda mati. Cara dapetinnya gak mudah, namun ludes gitu aja lebih mudah lagi karena pikiran dan perasaan sudah didominasi oleh uang, seakan-akan tolak ukur menjalani hidup ini uang. Padahal buat saya, armada kehidupan ada di pikiran dan perasaan. Uang memang buat kita hidup tapi kematian bukan ditangan uang. Kalau ada yang bilang, ”gue bisa mati nih karena gak ada uang” semacam mindset yang dibuat-buat kemudian nantinya mati tenggelam bersama asumsi sendiri.

Manusia dikasih fitrahnya mensinergikan antara pikiran dan perasaan meskipun sulit untuk berjalan bersamaan, keduanya punya ketergantungan peran dalam menghasilkan tindakan manusia.
Sekalipun mengutamakan berpikir realistis, muncul belenggu lain berupa sejauh mana sebenarnya perasaan berperan. Hidup berlebih bisa jadi membuat kaki lupa napak tanah, karena berasa diatas angin ibaratnya selalu tersedia panggung mementaskan pencapaian hidup. Ambisi merajai, menutup mata tentang manusia lainnya yang masih perlu dibantu.

Esensi dari hidup cukup bukanlah melulu semua di irit, gak boleh mengeluarkan uang untuk sesuatu yang disenangi. Hidup cukup diibaratkan mampu memahami proporsi kemampuan sendiri dalam memenuhi kebutuhan, lalu perlu pula untuk mencukupkan orang lain.

Kadang siklus hidup berdasarkan lingkungan sosial hanya berputar pada sekolah-kerja-nikah-punya anak dan kembali lagi ke tahap awal. Saat berada dalam siklus tersebut semua berusaha melakukan yang terbaik entah diperuntukan bagi dirinya maupun keluarga. Gak ada yang salah, namun akan lebih bijaksana apa yang kita lakuin berdampak buat lebih banyak manusia; gak sedarah, gak satu tongkrongan, gak satu komunitas, gak satu kerjaan, gak satu sekolah, gak satu suku, budaya, ras, agama, gak satu selera musik, gak sependapat, tapi satu jiwa, sama-sama berjiwa manusia.

Pesan dari orang tua sungguh melekat buat saya, apa yang kamu kerjakan di dunia adalah cerminanmu di akhirat. Pesan ini selalu mengingatkan saya untuk selalu berbuat baik, melakukan hal-hal baik, bermanfaat buat orang banyak. Cerminan saya nantinya bukan seberapa besar uang yang saya punya maupun prestasi dan pangkat kerja, tapi bagaimana cara saya berproses dalam menjalani duniawi dan manfaat yang saya berikan buat manusia lainnya.

Niat baik gak boleh ditepis, segerakan, karena untuk menghasilkan sesuatu yang baik jangan ditunda.
Realistis boleh, tapi cinta pun punya peran penting dalam menggerakan niat baik terhadap sesama. 
Soalnya hidup gak selamanya, sementara. 



Komentar