Menghabiskan waktu menetapkan hati, berjuang kemudian berujung pisah.
Malas memberikan keluasaan pahitnya patah hati.
Berupaya lagi menutup luka, lalu kembali membuka lembaran baru dari awal.
Muak bukan?
Buatku rasa memang rumit, perubahannya sulit ditebak.
Sangat cinta seketika berubah meledak-ledak, retak.
Bertahan bukan pilihan, berpisah jadi mutlak.
Asumsi bertubi-tubi sampai di telingaku.
"Masih trauma?"
"Gak ada yang deketin?"
"Pemilih?"
Kedekatan dengan si lawan jenis bukan keahlianku.
Pemberi harapan palsu, "friendzone" istilah paling tak kusukai.
Pintu selalu terbuka, proses pengenalan memang asyik.
Tapi berkali-kali tahapnya tak pernah berkutik, stak.
Hanya sebatas 'asyik'.
Berlanjut titik-titik, hilang bagai anak itik.
Ah sudahlah.
Hanya butuh sosok pemberani, berlapang hati melihat sisi lain yang punya arti buat penikmatnya.
Ku yakin, sosok itu langka.
Tapi bukan berarti tidak ada.
Aku bukan raisa, sekejap bikin lelaki tergila.
Aku juga bukan "mereka".
Jikalau sosok langka itu benar adanya, syukurlah.
Sudah lupa rasanya dicintai.
Eh, masih ada keluargaku selalu mencintai dengan cara yang permanen.
Komitmen bukan untuk di panen.
Kesendirianku terlalu panjang, main-main buatku tak keren.
Kesendirianku menarik buat diriku saja meski selalu memunculkan pertanyaan dari (sebagian) (banyak) orang, saking panjangnya status kesendirianku beken.
Ingin punya kekasih?
Sayangnya kasih tidak punya batasannya.
Kapan saja, oleh siapa saja.
Doa saja.
Buka pintu hati saja.
Tulus masih ada.
Bukan lagi ku menunggumu didepan pintu saja.
Dia ada, bersama niat baiknya.
Membangun bersama.
Berproses bersama.
Menyertakan tuhan bersamanya.
Lalu, kapan?
Di amini saja.
Sekarang, kesendirian merupakan berkah.
Menahanku cepat merekah.
Menjauhkan perasaan serakah.
Mengajakku selalu berserah.
Pada yang punya kuasa akan rasa, pemurah.
Tak perlu resah.
Sujudku dihadapnya adalah tempat penyeka keluh-kesah.
'Dia' pun tak boleh resah.
Sabar, nanti kita pasti dipertemukan tuk saling menyapu lelah.
Komentar
Posting Komentar