Batasan Memaklumi?

Tulisan ini semacam keresahan yang terpendam sudah lama, terlalu bercabang bahkan. Tidak dimaksudkan untuk pembenaran maupun ketidaksukaan terhadap pihak tertentu, ini murni keresahan apa adanya.

Semenjak media sosial jadi begitu ’racun’ buat saya, keingintahuan terhadap informasi terbaru tentang hidup orang lain rasanya menarik. Kenal pun tidak, sebatas tau dari feed instagram yang katanya kekinian itu. Seakan begitu mudah mengetahui orang lain lagi liburan kemana, bagaimana live stylenya, apa barang yang digunakan dari kepala sampai ujung kaki segalanya jadi konsumsi publik.

Fungsi media sosial memang memutus batasan-batasan privasi sering disebut sebagai informasi bersama, pengguna pun saat memilih membagikan sesuatu lewat akunnya menandakan dia secara sukarela menjadikannya konsumsi bersama.

Itu normal, wajar.

Sayangnya keresahan saya ada dititik puncak tertinggi melihat kondisi saat ini. Saya mengakui turut terbawa akan arus informasi begitu cepat, mudah dipengaruhi oleh apa yang saya lihat di media sosial, terseret untuk mengetahui kehidupan orang lain lalu penilaiannya dipukul rata. Sederhana saja, melihat si x jalan-jalan mulu ke luar negeri penilaiannya “Wah orang kaya nih, enak banget jalan-jalan mulu.” Liat si y menggunakan iphone 7 atau jam tangan daniel wellington muncul respon “Gila pasti duitnya banyak nih.” Tanpa sadar mengkiblatkan diri untuk mengkonsumsi hal yang sama, ntah kebutuhan atau memang butuh menyamaratakan standar demi pengakuan semata.

Jeleknya lagi muncul juga pernyataan bersuara negatif “gak mungkin banget dia se-kaya itu,” dan masih banyak lagi. Padahal mana pernah tau realita sesungguhnya orang cuman liat media sosial aja kan, terlalu asik menilai lewat media sosial sampai lupa penikmatnya suka turut terbawa dengan apa yang mereka bagikan, alias ikut-ikutan.

Muncul lah banyak pertanyaan dibenak saya,
“Harus yah hidup mewah?”
“Duit itu emang segalanya yah?”
“Pengakuan di dunia tuh sebegitu pentingnya?”
Live style kaya gini kenapa jadi suatu yang happening sih? HARUS BANGET ya?”

Terlalu banyak berkecambuk sebenarnya, kadang suka mikir orang-orang diluar sana kepikiran gak kalau apa yang dibagikan bisa berdampak besar buat pengguna lainnya. Berapa banyak orang bisa aja tertekan hidupnya hanya untuk mengikuti kiblatnya di media sosial itu, memaksakan sesuatu bukan berdasarkan kemampuan, memasang standar hidup berdasarkan hidup orang lain, merasa kehilangan kepercayaan diri melihat hidup orang lain ‘tampak’ lebih sempurna, menghapuskan rasa menghargai diri sendiri karna mematok kesempurnaan pada orang lain.

Banyak pula lebel media influencer tersebar, followersnya beribu-ribu hingga berjuta-juta menjadi panutan banyak orang, tapi terkadang label tersebut seakan pembenaran buat dirinya sendiri untuk merasa “Akun, akun gue, suka-suka gue lah kalau gak suka gak usah follow.” Seolah-olah hidup ini cuman ada diri sendiri gitu ya? 

Balik lagi, dunia per-media sosial-an emang rumit, gak bisa dicegah siapa yang follow bahkan gak follow masih bisa melihat update-an penuh 'kesempurnaan'. Terkadang diperlukan kedewasaan terhadap apa yang ingin dibagikan. 

Saya tau tulisan ini hanyalah curhatan semata, sulit pula rasanya menemukan solusi dari batasan memaklumi sampai mana, pembenaran sebenarnya memang untuk membela yang benar atau sebaliknya, saya percaya secara sadar maupun tidak kita pasti melukai orang lain, dan gak bisa memaksakan semua orang sama dengan apa yang kita pikirkan.

Naif memang, kalau mau marah kenapa kepedulian terhadap orang lain hanya jadi pembanding, hanya demi pengakuan, menaruhkan standar hidup pada hidup orang lain, berbangga hati akan pemikiran yang logis tapi tanpa sadar lagi-lagi hanya pembenaran dan menyalah-nyalahkan, sedih sih.

Saya cuman percaya hidup bukan soal saya aja, tapi banyak orang. Menundukan kepala, lihat sekeliling menyadarkan terlalu banyak orang yang perlu diselamatkan, dibantu. Apa sih gunanya influencer kalau masih terjebak oleh “lo lo, gue, gue.” Peduli tidak melulu soal kepo sama hidup orang lain, di niatkan saja untuk hal baik, niat baik akan berujung baik.

Sebenarnya batas memaklumi tuh sudah berada di garis tipis, mau berbuat sesuatu malah berbalik menampar diri sendiri agar lebih fokus terhadap kehidupan nyata melalui langkah-langkah sederhana untuk bermanfaat buat sesama. Biarkan apa yang terlihat di media sosial bisa mendewasakan diri lebih maklum sama hidup, ’bukan sama pelakunya’. Lebih maklum bahwa kehidupan kompleks ini masih butuh banyak orang-orang yang mau membantu sesamanya, gak butuh pengkritik maupun pemikir-pemikir logis. Cuman butuh hati nurani.





Komentar